Sebuah Kisah : Tentang Bubur Kacang Hijau
Aku ingin bercerita tentang bubur kacang hijau.
Bubur kacang hijau : kacang hijau, santan, dan gula
jawa. Bukan sih, aku bukan mau bercerita tentang resep membuat bubur kacang
hijau. Melainkan kesukaanku terhadap bubur kacang hijau dan beberapa kenanganku
tentang bubur kacang hijau. Aku mulai ceritaku, ya. Oh iya, boleh banget loh
kalau kalian baca ceritaku sambil ngemil kerupuk taro hehe.
Ini hanya sepenggal kisah-kisah yang aku ingat
tentang bubur kacang hijau. Mungkin tidak berurutan, jadi maaf ya kalau membuat
kalian bingung.
Dulu waktu masih SD aku sudah menyukai bubur kacang
hijau, atau pun es bubur kacang hijau. Dulu, ada tetangga, orang tua temanku,
rumahnya hanya beda kawasan RT, memiliki kulkas. Waktu itu masih jarang orang
yang memiliki kulkas. Mungkin karena bosan atau hanya mengisi waktu luang,
orang tua temanku itu membuat bubur kacang hijau. Lalu dikemas ke dalam plastik
putih panjang dan membekukannya di dalam kulkas. Bubur kacang hijau yang sudah
membeku itu dijual, tapi tidak dengan berkeliling. Kalau mau beli, ya tinggal
ke rumahnya. Aku lupa berapa harganya, mungkin lima ratus rupiah atau dua ratus
rupiah. Karena suka, aku menyisihkan uang saku sekolahku untuk membeli es bubur
kacang hijau setelah pulang ke rumah. Waktu itu, uang sakuku masih seribu
rupiah. Atau bahkan aku senang kalau ada tetanggaku yang menginginkan es bubur
kacang hijau lalu menyuruhku untuk membelikannya. Kan kalau gitu aku dibelikan
satu, hehe
Beralih saat sudah SMP. Ada satu penjual es bubur
kacang hijau yang menjadi langgananku. Aku sering membelinya saat pulang
sekolah bersama teman-teman. Masa SMP, aku dan teman-temanku berangkat dan pulang
berjalan kaki sejauh kurang lebih 3 kilometer. Pulang sekolah aku ingat pukul
12.10. Itu pas lagi panas-panasnya terik. Jadi aku selalu menyisihkan uang
jajan untuk kugunakan saat pulang sekolah. Oke, kembali lagi ke es bubur kacang
hijau.
Saking seringnya aku membeli di langgananku itu,
penjualnya sampai hafal denganku dan teman-temanku. Bahkan sampai sekarang,
kalau aku di rumah dan iseng membeli bubur di sana, penjualnya masih tahu kalau
saya yang dulu langganan di sana. “Dulu SMP 3 ya mba?” begitu kira-kira.
Buburnya enak banget lho, dulu cuma seribu rupiah, ada campuran bubur kacang
hijau, bubur ketan, sama sirup. Murah banget kan? Hehe. Terakhir kali aku beli
sih sudah naik jadi tiga ribu, tapi itu sebanding sih sama rasanya. Mantap.
Masih tentang penjual bubur kacang hijau langgananku
ini. Aku lulus SMP, lalu aku bersekolah di SMA yang letaknya bersebelahan
dengan SMPku. Tapi, semasa SMA aku jarang membeli di sana. Karena aku pulang
tidak lagi jalan kaki dari sekolah melainkan menggunakan bis kecil. Ya,
walaupun setelah turun dari bis masih harus jalan satu kilometer sih. Tapi
sudah tidak melewati bubur langgananku itu. Saat itu, aku pulang sekolah jam
empat sore. Jadi, ya memutuskan untuk
naik bis saja. Meskipun begitu, aku sering menunggu penjual bubur itu lewat di
depan sekolah sambil aku menunggu bus. Iya, aku beritahu. Sore hari itu waktu
penjual bubur itu pulang ke rumahnya sambil mendorong gerobak. Dan rumahnya
melewati sekolahku. Jadi, kalau misal buburnya belum habis dan uang sakuku masih
ada, aku membeli. Itu pun kalau aku beruntung melihat beliau lewat.
Aku suka saat UAS dan UTS tiba. Hehe. Karena aku
bisa pulang lebih awal. Jam 12 siang. Aku pasti akan mampir ke es bubur
langgananku itu. Pokoknya, UAS dan UTS itu saat yang dinanti, demi aku bisa
mampir ke es bubur dan membelinya. Terus pulang untuk tidur siang hehe…
Oiya, ada satu hal yang menyedihkan yang aaku ingat.
Bukan tentang es buburnya, atau penjualnya. Saat itu, kelas satu SMP dan aku
ingat itu hari jumat. Seharusnya sekolah pulang pukul setengah sebelas. Tapi,
aku dan teman sekelasku yang perempuan pulang terlambat yaitu tepat saat
selesai sholat jumat untuk menyelesaikan mading kelas. Aku ingat, aku pulang
bersama seorang temanku tapi berbeda desa dengannya. Dia pulang menggunakan
angkutan desa berwarna kuning. Teman-teman menyebutnya dengan taksi kuning.
Karena angkutan desa tak kunjung lewat, temanku memutuskan jalan bersamaku dan
nantinya menunggu angkutan lewat di tempat menjual bubur langgananku. Saat
masih di gang kecil, kami melewati masjid di mana orang-orang baru pada dari
masjid selepas sholat jumat. Saat melewati masjid, aku dan temanku melihat
angkutan desa itu lewat. Temanku berjalan lebih cepat di depanku untuk mengejar
angkutan itu. Saat berjalan di depanku, tiba-tiba ada dua anak laki-laki yang
berboncengan keluar dari masjid, masih menggunakan seragam pramuka juga. Mereka
melakukan pelecehan terhadap temanku. Tak usah kujelaskan pelecehan seperti
apa. Yang jelas, temanku langsung marah, memukuli dua anak itu dengan tasnya
dan umpatan-umpatan kasar pun tak urung keluar dari mulut temanku. Sedangkan
dua anak itu, hanya ketawa-ketiwi tidak jelas dan terus melajukan motornya. Aku
tidak begitu mengingat wajah mereka, yang jelas bukan dari sekolahku karena aku
dan temanku sama-sama tidak mengenalnya. Dan seragamnya pun panjang, sedangkan
seragam sekolahku untuk anak laki-laki waktu itu masih pendek. Aku memeluk
temanku, membawanya ke tempat penjual bubur. Temanku menangis dan terus
menangis. Aku hanya bisa menenangkannya dengan mengusap punggungnya. Angkutan
yang dinanti sudah melaju jauh.Penjual bubur yang baru kembali dari masjid
bertanya-tanya kenapa, aku hanya menjelaskan seadanya. Akhirnya, beliau ikut
menenangkan. Temanku meminta agar aku tidak menceritakan hal itu ke siapapun.
Aku menuruti, tapi maaf aku menceritakannya di sini. Kalau kamu membaca tulisan
ini, aku meminta maaf.
Teruntuk temanku, bagaimana kabarmu? Kapan ya
terakhir kita bersua? Mungkin saat acara lomba PMR di sekolahku, kamu
mendampingi adik-adik dari SMP untuk lomba, aku menjaga stand jualan milik
organisasiku. Semoga kabarmu sehat, dan bahagia selalu. Maaf aku belum menepati
janjiku untuk berkunjung ke rumahmu sampai sekarang. Semoga aku bisa berkunjung
ke rumahmu saat pernikahanmu nanti. Hehe
Teruntuk penjual bubur langgananku (yang sepertinya
tidak mungkin membaca tulisanku), terus membuat bubur yang enak ya pak.
Sehat-sehat selalu, biar aku tetep bisa menikmati es bubur buatan bapak. Hehe
Oke, pindah ya hehe sudah tidak berkaitan dengan
penjual bubur langgananku itu.
Saat SMA aku masih suka dengan bubur kacang hijau.
Setiap sore, sekitar jam 5, dan tepat aku pulang sekolah. ada penjual jajanan
pasar keliling. Namanya Mbak Nas. Aku selalu menanyakan, beliau membawa bubur
kacang hijau atau tidak. Aku nanyanya begini, “Mbak, nggawa burcangjo?” kalau Mbak Nas membawa, pasti aku beli.
Kalau enggak bawa, ya kadang beli yang lain kadang nggak jadi beli. Hehe. Mbak
Nas sehat-sehat juga ya mbak, kenapa sekarang jarang lewat? Huhuhu
Masih saat SMA, waktu itu kelas 10. Ada mata
pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan. Guruku membagi kelas menjadi beberapa
kelompok dan menugaskan kami untuk membuat es bubur. Aku sangat senang waktu
itu karena aku sangat menyukai es bubur. Kami membuat es bubur di sekolah
dengan alat dan bahan yang disediakan oleh masing-masing kelompok berdasarkan
kesepakatan. Kalian tahu? Es bubur buatan kelompokku adalah yang paling enak
daripada kelompok yang lain. Hehe kacang hijaunya, ketannya, santannya,
pokoknya enak deh. Sombong dikit ya hehe. Karena ini, aku sampai berpikiran
untuk mendirikan usaha es bubur. Tapi, ide tinggallah ide.
Lulus SMA, aku diterima kuliah di PTN di Surakarta.
Karena saat itu banyak permasalahan internal, aku sempat memutuskan untuk
mundur saat sudah menjelang masa orientasi mahasiswa baru. Aku tidak masuk
kuliah selama semester satu. Selama itu, aku mencari kerja tapi tidak ada yang
bertahan lama. Bekerja di warung es di Tegal, di pasar Ajibarang bekerja di
toko jam, bimbel anak SD, dan pernah juga berjualan es bubur kacang hijau
keliling. Ceritanya, tetanggaku yang rumahnya di depan rumahku persis, sering
merasa gabut. Aku memanggilnya Mbok Rol. Mbok Rol punya kulkas. Jadi, untuk
mengisi kegabutan, beliau membuat es bubur kacang hijau. Awalnya, yang membeli
hanya orang-orang di sekitar rumah saja karena tidak dijual keliling. Lalu aku
menawarkan diri untuk menjualkan es bubur itu keliling kampung. Dan dibolehkan.
Suatu hari, saat berjualan keliling, aku melihat
temanku masa SD yang menjadi polisi baru pulang ke kampung, di sambut anak-anak
kecil yang sudah menanti di depan rumahnya. Masih dengan seragamnya, dia
menyalami anak-anak itu satu persatu. Tanpa sadar, aku menangis melihatnya.
Terkadang menyesali keputusan saat itu untuk tidak kuliah. Aku pulang. Tapi
rezeki tidak akan pernah tertukar bukan? Atas support dari banyak pihak, aku
bisa berkuliah di semester kedua. Alhamdulillah. Dan di Solo, bertemu sahabat
yang sama-sama penyuka bubur. Walau aku tidak tahu dia semaniak aku atau tidak.
Haha. hei, kapan-kapan kita memesan es burjo bareng lagi yaaa hahaha
Komentar
Posting Komentar