Wilis : Tentangku
Namaku Wilis Nurbarokah. Saat aku menulis ini,
usiaku 21 tahun. Aku tidak tahu berapa usiaku ketika kamu membaca ini. Mungkin
kalau kamu membaca tulisan ini setelah dua tahun aku menulisnya, usiaku 23
tahun. Dan seterusnya. Ah sudahlah, ini tidak penting. Aku hanya ingin
bercerita tentang beberapa hal yang aku ingat ketika aku masih berusia
anak-anak. Ketahuilah, saat ini aku sudah tidak di usia anak-anak. Tetapi kalau
kamu bertemu denganku kamu bisa mengira aku ini anak-anak. Tubuhku kecil,
badanku pendek. Mukaku belum banyak berpoles, hanya seperlunya saja. Eh… aku
tidak bermaksud menjutifikasi wajah berpoles, hanya menggambarkan diriku saja.
Ini keadaan saat ini ya, tidak tahu dua tahun setelah aku membuat tulisan ini.
Dan kalau kamu juga membaca dua tahun setelah tulisan ini dibuat, mungkin
kondisi diriku yang aku gambarkan sudah tidak aktual. Ah… sudah deh. Ini adalah
hal yang lagi-lagi tidak penting!
Waktu itu aku masih berumur 6 tahun. Aku memandang
diriku sendiri di dalam cermin yang tertempel di lemari baju. Aku tersenyum,
lalu berkata, “kamu siapa?’ ke arah
cermin. Aku diam, orang yang kulihat di dalam cermin pun diam. Kemudian aku
tertawa, begitu pun bayanganku dalam cermin. Melihat itu, aku berkata “ngapain ikut
ketawa? Nggak usah ikut ikut” dengan garangnya. Aku melihat ibuku yang
tersenyum melihat tingkahku. “Ya iyalah ikut ikutin aku, kan itu aku, hehehe”.
Lalu
aku bergegas mengerjakan PR dari sekolah. PR yang aku sukai namun tidak aku
sukai. Mengurutkan bilangan. Aku suka matematika, tapi kenapa pelajarannya
tidak berubah. Oh, aku ingin mulai belajar yang lainnya. Perkalian dan
pembagian, tapi belum bisa. Ya sudah aku mengerjakan PR ku saja. Tak lama,
mungkin 6 menit lebih 23 detik sudah selesai. Ku letakkan kembali bukuku ke
dalam tas sekolah yang akan kupakai esok harinya.
Aku
menuju ke ibuku, yang sedari tadi melihat tingkahku dengan sesekali tersenyum
sambil membuat anyaman bambu. Malam itu, ibuku harus melembur untuk membuat
anyaman bambu, karena anyaman itu akan segera disulap menjadi caping oleh
kakek. Aku memperhatikan tangan ibuku yang dengan lincah membuat anyaman bambu.
Aku sudah beberapa kali mencoba di hari-hari sebelumnya, tapi tidak bisa
secepat kalau ibu yang membuat. Aku terus melihat tangan ibu, sampai akhirnya
rasa kantuk datang dan mataku yang kecil semakin menyipit. Aku menuju ke kamar
untuk tidur dengan tetap terbayang tangan ibuku yang membuat anyaman di depan
mata.
Beberapa
hari setelah itu, pelajaran Bahasa Indonesia. Kami belajar membaca tulisan di
papan tulis hitam yang ditulis ibu guru. Saat itu, murid bergiliran maju secara
berkelompok beranggotakan 3 orang. Saat giliranku dan kelompokku maju, dan
mengeja deretan huruf di papan tulis. Aku tidak bersuara, membacanya dalam hati
tanpa mengejanya. Selesai ku membaca, kedua temanku masih mengeja bersama-sama.
Aku memandang ke arah lain, aku merasa sudah selesai membaca dan tugasku sudah
selesai. Tapi, kemudian aku ditegur ibu guruku. Kata ibu guru, aku harus rajin
membaca dan selalu berlatih membaca, agar aku bisa membaca dengan lancar. Aku
hanya mengangguk dan sejak saat itu, aku membaca tulisan apapun yang aku temui
di jalan, di tiang listrik, di poster, di warung aku membaca semua merk jajan
yang ada. Dan kalau naik bis sama ibuku, aku membaca iklan-iklan yang ada di
pinggir jalan, nama toko yang ada di pinggir jalan, nama sekolah, dan
tulisan-tulisan apapun yang aku temui.
Kelas
2 SD. Aku mengerjakan PR bersama teman-temanku. Satu kelompok belajar yang
dibentuk di sekolah. PR yang dikerjakan adalah pelajaran IPA tentang bentuk
bentuk benda. Waktu itu, ada beberapa soal mengenai bentuk benda, baik benda
cair, padat, maupun gas. Banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai benda cair,
apabila air diletakkan di mangkok maka bentuknya menjadi seperti apa? Aku mau
mengusulkan mangkok, tapi teman-temanku berdiskusi, jawabannya botol, ya sudah
aku menurut saja. Aku pun menjawab botol juga. Keesokan harinya setelah PR kami
dikoreksi, banyak jawaban yang salah. Nilai kami saat itu 20. Aku tertawa, “oh
iya yaa kan kata bu guru bentuk benda cair mengikuti wadahnya hahaha”
Kelas
3 SD. Waktu itu hari Rabu, aku ingat. Di mana semua teman-temanku berlarian ke
lapangan untuk mengikuti senam pagi. Aku melihat semua teman-teman berlarian
menuju lapangan agar mendapat tempat yang nyaman untuk melakukan senam.
Sedangkan aku, masih betah melihat semua teman-temanku yang berlari di depan
pintu kelas. Aku mengamatinya dengan seksama. Tiba-tiba saja, ada murid
perempuan yang terjatuh di depanku. Dia terjungkal. Dia langsung bangun lagi,
dan berlari lagi. Dalam hatiku, “untung dia tidak apa-apa,” dan aku mulai
berjalan menuju lapangan untuk mengikuti senam. Area kelas-kelas sudah mulai
sepi, tinggal beberapa murid saja yang tersisa. Sampai di lapangan, aku
langsung mengikuti barisan dan mengikuti komando pak guru di depan yang
mengatur barisan. Senam pun di mulai dan aku mengikutinya.
Kamu
tahu? Hal-hal yang aku tulis diatas tertanam di otak. Aku ingat betul
kejadiannya. Bukan hal yang terlalu aneh memang, hanya saja setelah ku pikir,
itu semua relevan dengan apa yang aku sering lakukan sekarang. Kata lainnya
sih, sifatku udah seperti itu dari dulu.
Mulai
dari aku yang memandangi diri di depan kaca dan bertingkah absurd. Tingkahku
yang absurd seperti itu masih terbawa hingga sekarang. Tapi, bukan itu yang
ingin kubahas. Aku memandangi diriku sendiri lalu menertawai diri sendiri. Aku
selalu menilai diriku sendiri, menilai dan menjutifikasi diri sendiri. Dan tak
jarang aku menertawai diri sendiri. Aku sering kembali mengingat apa yang sudah
aku lakukan, lalu menyesal. Harusnya aku jangan melakukan itu.
Saat
aku mengerjakan PR, dengan percaya dirinya aku merasa bosan, dan ingin
mempelajari yang lain. Tapi tak mampu. Hahaha. Aku seperti itu memang, suka
mengambil risiko bahkan untuk sesuatu yang sudah kutahu aku tidak bisa. Bukan
tidak bisa, lebih tepatnya ingin bisa tapi malu bertanya. Buruknya, sekarang
yang terbawa terlalu fokus pada hal yang ingin dibisai tapi malu untuk
bertanya, kemudian melupakan hal yang sudah tahu menjadi keharusan tapi lalai
dilakukan. Seperti tugas, tugasnya disuruh tema apa malah belajar tema apa.
Saat
ibu membuat anyaman bambu. Ya, aku suka mengamati orang lain saat melakukan
suatu hal. Tapi tidak ada niat untuk memberikan justifikasi sehingga membuat
orang lain risih karena aku amati. Tak jarang, orang lain menyadari sedang
diamati dan menyuruhku biar jangan melihat. Satu hal yang bisa kupetik dari hal
ini, aku suka melihat suatu proses dengan detail. Bagaimana orang itu berjalan,
apakah dia berdiri tegak dari duduknya baru berjalan? Ataukah dia berjalan
sebelum berdiri tegak, menegakkan badan sambil berjalan? Aku harap kamu
mengerti apa yang aku bicarakan, aku pun tidak tahu bagaimana membahasakannya.
Ya, intinya aku suka mengamati. Termasuk mengamati orang yang berbicara dan apa
yang dibicarakannya. Dari mata ke telinga.
Untuk
hal mendengarkan, akulah juaranya. Karna aku suka mendengarkan orang bicara,
dari suaranya tak jarang aku tahu apa yang sebenarnya sedang dirasakannya. Sok
tahu sih lebih tepatnya. Dan kadang aku juga sok tahu sama sifatnya secara
detail. Tapi, meskipun aku suka mendengarkan, entah kenapa susah sekali bagiku
untuk menanggapi cerita seseorang. Aku perlu berpikir untuk waktu yang cukup
lama. Aku ketika menyimak cerita seseorang, akan aku ingat hingga ku akan
tertidur, dan saat itu aku malah sering menemukan solusi atas cerita yang
sedang kupikirkan atau menemukan tanggapan yang kurasa tepat untuk menanggapi
cerita itu saat sesudah mendengarkan. Ini tepat bukan dengan kejadian aku tidur
dengan bayangan tangan ibuku menganyam di depan mataku?
Saat
aku belajar membaca, maju ke depan bersama kedua temanku yang aku lupa dengan
siapa aku maju saat itu hehe. Ini sesuai dengan bagaimana diriku sekarang. Aku
terlalu tidak berani untuk bertanya, terlalu tidak berani untuk berbicara dan
berpendapat. Semua pemikiran hanya bisa bergerumul di dalam otakku, jarang yang
bisa kusalurkan ke mulut. Aku tidak tahu, kenapa sekelu itu berbicara apa yang
aku pikirkan. Bahkan selalu berpikir apa yang aku pikirkan itu tidak bermutu,
sehingga hanya tertahan di pikiran. Saat ini aku sedang mencoba memperbaiki
itu, agar aku bisa mengembangkan diriku. Tolong doakan aku ya.
Itu
di satu sisi, yang entah itu baik atau buruk kamu yang menilai. Namun, ada satu
hal yang tidak aku sukai dari ini. Meskipun aku terlalu tidak berani untuk
bersuara, tetapi kadang kesombongan itu timbul di hati. Merasa paling bisa,
tapi malah tidak menunjukkan. Sungguh, aku benci dengan diriku yang seperti
ini. Jika suatu saat kamu menjumpaiku bertingkah atau berpemikiran sombong,
tolong tegur aku. Siapapun kamu, orang terdekatku atau pun bukan, aku butuh
ditegur. Karena hal seperti ini justru sangat menghambatku untuk lebih berani.
Aku
bertanya lagi. Kamu tahu? Ada satu hal yang baru aku sadari. Dua paragraf
sebelumnya menunjukkan diriku pada dua sisi yang bertolak belakang. Satu sisi
aku merasa apa yang aku pikirkan tidak bermutu, di sisi lain terkadang timbul
kesombongan. Ada yang tahu ini mengapa? Aku serius menginginkan jawaban atas
pertanyaan ini.
Aku
lanjutkan ceritaku ya..
Waktu
mengerjakan PR bersama dengan teman-temanku, aku tahu jawaban yang benar, tapi
tidak tahu itu benar dan akhirnya mengikuti jawaban teman-temanku yang berujung
pada kesalahan-kesalahan yang lucu. Haha…. Sebentar, sebelum aku memaknai itu,
aku mau mengatakan sesuatu, kalau saja bukti itu masih ada, buku itu masih ada,
pasti ada bahan untuk menertawakan diri sendiri, kan seru. Tapi udah raib entah
kemana bukunya. Sudah itu saja.
Maknanya,
sampai sekarang pun aku masih seperti itu. Tahu apa yang benar, tapi lebih suka
diam karena takut salah. Kalau pun tidak takut salah, tetap diam. Membiarkan orang
lain mencari sendiri makna kebenarannya. Jahat ya aku, membiarkan dalam
belenggu kesalahan. Tapi kan, bisa saja makna kebenaran yang ditemukan berbeda.
Sesuai dengan perspektifnya. Ya sudah deh, tidak usah terlalu panjang, yang
jelas aku begitu.
Oiya,
ada hal lain yang terlewat. Seperti pada kejadian itu, aku selalu berusaha
untuk tidak mengkambinghitamkan orang lain, entah itu kesalahanku atau bukan. Yang
selalu aku usahakan pegang adalah, tidak ada kesalahan pribadi dalam kerjasama,
kalau ada kesalahan ya itu kesalahan bersama. Itu yang aku usahakan, kalau
misal yang kalian lihat berbeda dari yang aku katakan (bagi yang kenal aku),
tegur saja aku tidak apa-apa, agar aku bisa memperbaiki diri dan mungkin aku
salah dalam menilai diri sendiri.
Kejadian
Rabu pagi ketika kelas 3 SD, menggambarkan beberapa hal tentang diriku. Tentang
aku yang tak suka keramaian tetapi suka mengamati keramaian. Tentang aku yang
tidak suka terburu-buru kalau orang lain sedang terburu-buru, alias tidak suka
berebut. Sampai sekarang, aku sangat menyukai berjalan sendirian ke suatu
tempat, berjalan kaki terutama. Ke danau kampus, atau ke manapun yang aku mau. Hahaha…
dan aku suka mengamati apa yang orang-orang lakukan di keramaian (mungkin aku
penganut paham empirisme hehe), bahkan cenderung memperhatikan, sampai-sampai
terkadang takut kalau orang yang sedang kuperhatikan mengetahui kalau aku
sedang memperhatikan.
Ada
lagi yang belum aku sampaikan maknanya tidak? Aku terkadang sampai lupa mau
menulis apa aja. Terima kasih buat siapapun yang mau menyimak tulisan saya yang
tidak tahu bermanfaat atau tidak, saya hanya ingin mengekspresikan diri sendiri
hehehe….
I feel like reading a story about myself jajajajaja
BalasHapusterima kasih :))
Hapus